Konseling Pancawaskita

Tokoh Utama dalam Pancawaskita
Prof. Dr. H. Prayitno, MS. lahir di Sidareja ( Kabupaten Cilacap) 21 Desember 1940, adalah Guru Besar dalam bidang bimbingan dan konseling (BK) pada fakultas ilmu pendidikan (FIP) Universitas Negeri Padang (UNP-dahulu IKIP Padang) yang telah puluhan tahun telah berkecimpung dalam pendidikan calon tenaga pembimbingan atau konselor dan praktik pelayanan BK, baik untuk siswa maupun warga masyarakat pada umumnya.
Setamatnya sebagai sarjana jurusan BK (dahulu bimbingan dan penyuluhan) IKIP Bandung tahun 1965. Beliau menjadi dosen IKIP Bandung. Kemudian hijrah dan menjadi dosen IKIP Padang (sejak 1966) dan memegang sejumlah jabatan antara lain Ketua jurusan BK; Dekan FIP IKIP; Direktur sekolah Proyek Perintis Sekolah Pembangunan (PPSP); Guru pembimbing Senior; Anggota Tim Nasional Bimbingan dan penyuluhan PPSP.
Sementara itu beliau melanjutkan studi di Macquire University, Sydney (Australia) serta di Indiana University (Amerika Serikat) untuk memperoleh gelar master (1978) dan doktor (1980), keduanya dalam bidang BK.
Selanjutnya beliau mendirikan dan menjadi ketua Unit Pelayanan Bimbingan dan Konseling (UPBK) IKIP Padang (1986). Kemudian beliau menjabat lagi sebagai Dekan FIP IKIP Padang (1989 - 1996); penanggung jawab konsultan akademik penataran BK bagi guru – guru pembimbing SLTP/SLTA SELURUH Indonesia di PPPG Keguruan jakarta (1993 - sekarang); Ketua Tim Pengembang Nasional Student Support Service (3S) dan Carier Planning Development (CPD) untuk mahasiswa 30 LPTK Negeri seluruh Indonesia (1996- sekarang); ketua program BK pasca sarjana UNP (1995 - sekarang).
Dalam organisasi profesi BK, yaitu Ikatan petugas Bimbingan Indonesia (IPBI) beliau pernah menjabat komisaris IPBI Daerah Sumatra bagian tengah dan selatan dan sebagai ketua umum pengurus besar (1991 – sekarang.)

A.   Konsep  Dasar
Konseling Pancawaskita disingkat (KOPASTA). Konseling Pancawaskita merupakan salah satu bentuk pendekatan dalam konseling dengan memadupadankan teori konseling (Eklektik). Kopasta menitik beratkan pada wawasan Pancawaskita. Pancawaskita mengintegrasikan lima faktor yang mempengaruhi individu yaitu:
a.         Pancasila.
b.         Lirahid (lima ranah kehidupan)
c.         Panca daya ( Takwa, Cipta, Rasa, Karsa, Karya)
d.        Masidu (lima kondisi yang ada pada diri individu) yang terdiri dari (rasa aman, kompetensi, aspirasi, semangat, pengunaan kesempatan)
e.         Likuladu (lima kekuatan diluar individu) yang terdiri dari (gizi, pendidikan, sikap, perlakuan orang lain, budaya dan kondisi insidensial)
Dalam sejarahnya KOPASTA dikembangkan sebagai salah satu pendekatan yang dilakukan dalam pelaksanaan konseling perorangan, para konselor diharapkan dapat menguasai pendekatan ini sebagai salah satu pendekatan yang dapat digunakan dalam penyelenggaraan konseling perorangan.
Pengaruh faktor-faktor tersebut perlu diperhatikan secara cermat dan dilakukan pembinaan melalui konseling sehingga perkembangan dan kehidupan individu menjadi lebih membahagiakan. Kebahagiaan ini akan menjelma melalui kehidupan individu yang mandiri.
Ditilik dari isinya konseling merupakan proses membangun pribadi yang mandiri. Sebelum seorang konselor membangun hal itu, terlebih dahulu ia perlu membangun pribadinya yang mandiri terlebih dahulu. Konselor yang mandiri itu akan mampu dari segi teknis dan psikologisnya menyelenggarakan konseling eklektik dengan wawasan pancawaskita. Waskita merupakan sifat yang terpancar dari kiat dan kinerja yang penuh dengan keunggulan semangat disertai dengan :
1.         Kecerdasan, bahwa konseling adalah pekerjaan yang diselenggarakan atas dasar teori dan teknologi yang tinggi serta pertimbangan akal yang jernih, matang dan kreatif.
2.         Kekuatan, bahwa konselor adalah pribadi yang tangguh baik dalam keluasan dan kedalaman wawasan berfikirnya, pengetahuan serta keterampilannya, maupun dalam kemauan dan ketekunannya dalam melayani kliennya.
3.         Keterarahan, bahwa kegiatan konseling berorientasi kepada keberhasilan klien mengoptimalkan perkembangan dirinya dan mengatasi permasalahanya.
4.         Ketelitian, bahwa konselor bekerja dengan cermat dan hati-hati serta berdasarkan data dalam memilih dan menerapkan teori dan teknologi konseling.
5.         Kearif bijaksanaan, bahwa konselor dalam menyikapi dan bertindak didasarkan pada peninjauan dan pertimbangan yang matang, kelembutan dan kesantunan terhadap klien dan orang lain pada umumnya sesuai dengan nilai moral dan norma-norma yang berlaku serta kode etik konseling.
Itulah panca waskita , kewaskitaan yang didalamnya terkandung  lima faktor yang akan menjadi andalan bagi keberhasilan seorang konselor.

1.      Hakekat Keberadaan
Dunia dan alam semesta dipenuhi oleh serba keberadaan. Sebutlah sesuatu, maka sesuatu itu adalah sebuah keberadaan. Keberadaan terbentang dari yang paling kasat mata dan teraba (konkrit) sampai yang paling khayal dan termaya (abstrak) serta gaib; dari yang paling besar sampai yang paling kecil, dari yang paling sederhana sampai yang tak terhingga, dan dari yang ada sampai tidak ada.
Dalam kedinamisan keberadaan sepanjang zaman, dua jenis keberadaan amatlah penting, yaitu keberadaan yang sedang ada (KSA) dan keberadaan yang mungkin mengada (KMA). KSA terwujud dalam kesadaran seseorang, sedangkan KMA merupakan dunia kemungkinan. Jika KSA merupakan suatu titik yang sedang dijangkau oleh seseorang pada suatu saat, maka KMA merupakan daerah yang masih berada di luar jangkauannya, tetapi ada kemungkinan untuk dijangkaunya.
Sesuatu yang berasal dari KMA dapat menjelma menjadi KSA, dan KSA dapat surut ke daerah keberadaan yang pernah ada (KPA). Adalah sangat dimungkinkan KPA muncul kembali ke dalam KSA. Untuk itu KPA terlebih dahulu masuk ke daerah KMA.
Baik KSA maupun KMA mempunyai peluang dan keterbatasan. Didalam kekuasaan Tuhan Yang Maha Mencipta kesadaran manusia tentang peluang dan keterbatasan KSA bersifat manusiawi yang ditentukan oleh unsur – unsur ruang dan waktu serta unsur – unsur kondisional. Sedangkan peluang dan keterbatasan KMA bersifat “abadi”. Peluang dan keterbatasan KMA berada diluar jangkauan dan kemampuan manusia; semuanya itu sepenuhnya berada di tangan Tuhan Yang Maha Kuasa.
2.      Gatra
Keberadaan merupakan sesuatu yang penuh arti. Sesuatu yang penuh arti disebut gatra. Dalam dirinya sendiri gatra itu mengandung arti tertentu. Disamping itu, arti suatu gatra dapat pula diberikan dari luar, yaitu yang diberikan atau dibentuk oleh orang – orang yang berusaha menghayati dan / atau mendayagunakan gatra itu. Arti  dari dalam (ADD) suatu gatra bersifat amung dan demikianlah adanya (unik dan objektif), sedangkan arti yang diberikan dari luar (ADL) bersifat lentur.
Meskipun ADD sudah ada dengan sendirinya di dalam gatra, namun ADD itu tidak selalu dengan sendirinya tampak atau menampilkan diri. Bahkan seringkali terjadi ADD justru tersembunyi dan menunggu pengungkapan itu memerlukan usaha dan amat tergantung pada pengetahuan, kemampuan, dan kemauan orang yang bersangkutan. Berbeda dengan ADD yang bersifat menetap itu, ADL dapat “dibawa” ke mana saja oleh si pemberi arti, sehingga terkesan bahwa ADL bersifat seperti karet, direntang bisa panjang, disingkat bisa pendek; diangkat bisa tinggi, dibatasi bisa rendah; digali bisa dalam, ditimbun bisa dangkal; dibelok-belokkan ke mana pun bisa. Seperti pengungkapan ADD, ADL pun amat tergantung pada pengetahuan, kemampuan dan kemauan orang yang member arti terhadap gatra yang dimaksudkan.
Sifat keberadaan gatra adalah seperti sifat – sifat keberadaan benda pada umumnya. Ada yang “padat”, artinya bentuk dan isinya lebih pasti dan tidak mudah diubah; ada yang “cair”, artinya bentuk dan isinya mudah berubah; ada pula yang ibarat “gas” artinya bentuk, isi, dan kepadatannya amat mudah berubah, mengembang dan menguap. Demikian juga “warna” gatra. Ia dapat berwarna tunggal ataupun berwarna – warni bagai pelangi, ataupun kabur, buram, atau tanpa warna sama sekali.
ADD dan ADL suatu gatra tidak selalu sama, melainkan justru seringkali tidak bersesuaian, bahkan bertentangan. Keserasian antara ADD dan ADL suatu gatra akan mewujudkan kesatuan, kebulatan dan kemantapan arti dari gatra yang dimaksudkan. Sebaliknya, jika keserasian antara ADD dan ADL timpang, atau bahkan bertentangan, maka akan terjadi kesalahartian dengan berbagai akibatnya.
KSA (keberadaan yang sedang ada dalam sebuah gatra) yang ada pada diri klien dianalisis serta diberi suasana dan perlakuan – perlakuan khusus sehingga KMA (keberadaan yang mungkin ada dalam sebuah gatra) yang menguntungkan dan membahagiakan klien menjadi terwujud. Dengan penggatraan gatra dalam proses konseling itu klien dimungkinkan untuk berkembang menuju kemandiriannya.

3.      Hakekat Manusia
Manusia adalah suatu keberadaan dalam alam semesta ini; sebuah gatra. Berbeda dari gatra – gatra lain yang bukan manusia, ADD dan ADL pada manusia dapat diberi ciri berikut:
1.    ADD sangat bervariasi antara individu yang satu dengan individu lainnya; individu dapat memahami ADD-nya sendiri.
2.    Selain dapat memberikan ADL kepada gatra – gatra di luar dirinya, manusia pun dapat memberikan ADL kepada dirinya sendiri.
3.    Antar sesama individu atau sekelompok manusia dapat saling memberikanADL.
4.    ADD dan ADL terhadap diri sendiri serta ADL dari luar diri sendiri terus menerus berinteraksi yang menghasilkan perkembangan pada diri individu.

Ciri-ciri ADD dan  ADL seperti itulah kiranya yang membedakan secara amat tajam antara manusia dan bukan manusia sebagai makhluk Tuhan. Lebih dari makhluk – makhluk lainnya, manusia adalah makhluk yang tertinggi derajatnya. Ketertinggian derajat ini diperlengkapi dengan lima dimensi kemanusiaan yang melekat pada diri setiap insan, yaitu:
1.    Dimensi fitrah (dimfit).
2.    Dimensi keindividualan (dimin).
3.    Dimensi kesosialan (dimsos).
4.    Dimesi kesusilaan (dimsus).
5.    Dimensi keberagaman (dimag).

B.   Asumsi  Perilaku Bermasalah
Permasalahan yang dialami oleh seorang  individu terwujud di dalam tingkah lakunya. Ukuran kebermasalahannya tingkah laku individu diadu kepada nilai-norma- dan moral yang berlaku pada kehidupan sosio-budaya di lingkungannya. Memperhatikan dimensi 5x5x5 diatas, maka dapat diketahui bahwa akar dari permasalahan individu adalah kualitas pancadaya yang telah terkembangkan , likuladu, dan masidu, yaitu:
ü  Ketaqwaan yang terputus.
ü  Daya cipta yang lemah.
ü  Daya rasa yang tumpul.
ü  Daya karsa yang mandeg.
ü  Daya karya yang mandul.
ü  Gizi yang rendah.
ü  Pendidikan yang macet.
ü  Sikap dan perlakuan yang menolak dan kasar.
ü  Budaya yang terbelakang.
ü  Kondisi insidental yang merugikan.
ü  Rasa aman yang terancam.
ü  Kompetensi yang mentok.
ü  Aspirasi yang terkungkung.
ü  Semangat yang layu.
ü  Kesempatan yang terbuang.

C.   Tujuan Konseling Pancawaskita
Menurut Prayitno (1988: 21) Konseling pancawaskita mempunyai tujuan yaitu terbangunnya gatra baru melalui pengungkapan, analisis, pemaknaan secara tepat dan positif terhadap Arti Dari Dalam (ADD), Arti Dari Luar (ADL), Keberadaan yang Sedang Ada (KSA), serta pembinaan Keberadaan yang Sedang Ada (KSA) baru dengan memperhatikan Keberadaan yang Mungkin Ada (KMA) positif yang ada pada diri klien.

D.   Peran Konselor Dalam Konseling Pancawaskita
Dalam konseling eklektik konselor mengarahkan usahanya kepada berbagai aspek pada diri klien yang menjadi fokus penggarapan oleh penedekatan-pendekatan konseling yang berbeda.
Prayitno (1988: 32) menjelaskan masalah klien yang mengemukakan dalam konseling dapat menyangkut satu atau lebih fokus beberapa pendekatan. Dalam proses investigasi dan interpretasi konselor dapat mengungkapkan fokus tersebut dengan sangkut paut Masidunya. Dengan teknik yang tepat, konselor menyelenggarakan intervensi untuk mendorong Masidu menjadi lebih positif. Lebih jauh, siswa diharapkan dapat memerdekakan dan membangun dirinya.

Konselor dalam konseling pancawaskita mengarahkan usahanya kepada berbagai aspek pada diri siswa yang menjadi fokus penggarapan oleh pendekatan-pendekatan konseling seperti motivasi belajar rendah, dalam Masidu adalah semangat yang layu  dengan mengubah gatra lama menjadi gatra baru yaitu munculnya semangat dalam belajar yang tinggi. Dalam proses investigasi dan interpretasi konselor dapat mengungkap fokus tersebut dengan sangkut paut Masidunya dengan teknik yang tepat serta mendorong Masidu menjadi lebih positif lebih jauh klien diharapkan dapat memerdekakan dan membangun dirinya.

0 Response to "Konseling Pancawaskita"

Post a Comment